Kamis, 14 Juni 2012

A Friend To Kiss

Cast: Lee Taemin, Yoon Jisun, Seo Eunkyung, Son Naeun
Genre: PG
Length: Oneshot
Disc: Inspirasi dari mana saja, dari berita di Allkpop yang judulnya SHINee Taemin Would Kiss His Friend.
Yoon Jisun belongs to Rara onnie, pinjem nama onn! Wkwk.


“Jisun-ah!”
‘Ctak’
Isi pensil mekanikku patah.
“Jisun!”
Apalagi eomma ini.
“Jisun-ah, temanmu masuk TV!”
“Aish, aku sedang buat PR eomma, ada apa?” Aku mendatanginya yang berteriak-teriak dari ruang TV, karena kalau tidak eomma tak akan berhenti.
“Lihat, bukannya itu teman sekolahmu yang kemarin mengantar pulang?”
Mataku mengikuti arah telunjuk eomma, yaitu ke televisi.
“Dia artis ya?” tanya eomma antusias.
“Ne.”
“Nah, begitu, kalau berteman sama artis, kalau beruntung bisa saja kau dilirik agensinya.”
“Tidak mau, terima kasih.”
Aku beranjak dari sana, hendak kembali ke kamar.
“Mungkinkah bagimu untuk mencium seorang teman lawan jenis, Taemin?”
Langkah kakiku berhenti begitu mendengar suara MC variety show mengutarakan pertanyaan itu pada Taemin.
“Tentu saja.” Bisa kulihat jelas wajahnya tersenyum memuakkan.
“Aigo aigo, manis sekali temanmu Jisun-ah. Dengar katanya, ‘Tentu saja’ dengan muka yang polos seperti itu. Omona.” Aku bersyukur gen untuk sifat labil dan tidak jelas eomma tidak turun padaku.
“Meskipun hanya seorang teman biasa?” Suara MC terdengar lagi untuk meyakinkan.
“Ya, menurutku itu tidak apa-apa.” Jawabnya.
“Kalau begitu, semua gadis pasti ingin berteman dengan Taemin SHINee!” MC itu melawak, dan semua orang di sana tertawa. Sense of Humor mereka rendah.
“Kalau begitu, apakah kau sependapat dengan Lee Taemin, Onew-ssi?” Pada akhirnya aku malah duduk di samping eomma dan ikut menonton.
“Aku tidak yakin, aku merasa aku harus berkencan dengannya dulu, baru menciumnya, kalau tidak ada hubungan apapun, pasti sulit untuk dilakukan.” Cowok bermata sipit itu menjawab sambil cengar-cengir.
“Begitukah? Bagaimana misalnya kau berkencan dengan anak SD, mungkinkah kau menciumnya?”  Aku bertaruh, MC itu ingin melucu lagi, tapi tidak ada yang tertawa dengan pertanyaannya.
“Entahlah, mungkin.” Jawab si mata sipit itu.
“Anak-anak zaman sekarang melakukannya!” Taemin menjawab tiba-tiba.
“Anak-anak zaman sekarang mengerika, seperti kau.” Balas orang yang bernama Onew itu pada Lee Taemin dan aku sangat setuju dengannya.
“Jangankan zaman dulu, eomma pun berciuman pertama kali kelas satu SMP dengan appamu. Masa muda memang indah ya, andai saja eomma bisa kembali ke masa lalu…”
Aku meninggalkan eomma sebelum meracau lebih melantur lagi, PRku menunggu, juga PR si bodoh itu.
*
Aku berjalan dengan terkantuk-kantuk, beruntung bel sekolah belum berbunyi. Aku dan eomma sama-sama kesiangan bangun jam 7, dan appa sudah berangkat kerja duluan tanpa membangunkan kami, appa mengira hari ini sekolah libur, maka ia tidak membangunkan aku, sementara itu appa tidak berani membangunkan eomma untuk sekedar membuatkan kopi dan sarapan, karena itu sama saja dengan membangunkan singa betina.
“Pagi Jisun!” Eunkyung menyapaku begitu ia melihatku.
“Pagi.” Ujarku lesu.
“Kau punya mata panda, jam berapa semalam kau tidur?”
“Hoamm, jam 4.” Aku menghempaskan badanku ke kursi di samping Eunkyung.
“Astaga, aku tidur jam setengah 1, kukira aku yang tidur paling telat malam ini karena PR dari Pak Jung.”
“Aku akan tidur tak sampai jam 12 kalau saja, kau-tahu-maksudku.”
“Sabar ya, seandainya aku bisa membantumu.” Eunkyung menepuk-nepuk pundakku dan melemparkan tatapan penuh simpatinya.
“Bukan tak bisa, tapi tak mau.” Aku menyergah tangan Eunkyung, kemudian menenggelamkan kepalaku ke meja.
“Hehehe, kalau aku membantumu, aku yang akan tidur jam 4.” Ujarnya disertai tawa garing, huh dasar teman yang senang sama-sama, susah sendiri-sendiri.
“Eunkyung-ah, bangunkan aku kalau bel sudah bunyi ya.”
‘TEEEEEEEEETTTTT’
“Bel sudah bunyi Jisun!”
Asdfghjkl;@#$%^&$#$^%&%)($#@#$%!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
“Kyaaaa!! Taemin-ah!”
Ya ampun.
“Dan temanmu juga sudah datang.” Eunkyung melempar cengirannya.
“Terima kasih sudah mengingatkannya Eunkyung.”
“Sama-sama Jisun.” Dan Eunkyung tersenyum manis.
Oh anak ini, wajar Jisun. Dia satu nenek dengan orang tidak waras itu. Mereka satu keturunan dan kau tahu gen sifat menyebalkan pasti sama-sama diturunkan pada mereka.
‘Brak’
Pintu menjeblak, masuklah makhluk itu disusul pengikut-pengikutnya.
Ruang kelas yang tidak terlalu luas, jadi semakin sempit ketika dipenuhi orang-orang yang non warga kelas ini.
“Pagi Eunkyung!”
“Pagi Taemin.”
“Pagi Yoon Jisun.”
“Hoam.” Aku menguap lebar alih-alih menjawab salamnya.
“Hey kau! Kenapa tidak membalas salamnya?” tanya seorang gadis di antara pengikut si bodoh.
“Aku ngantuk!” balasku singkat.
“Tapi apa  salahnya kalau kau membalas salam Taemin oppa?” kali ini ketua fans club, Son Naeun, ia melotot padaku sekarang.
“Sudahlah, jangan dibesar-besarkan, Jisun pasti mengantuk karena mengerjakan PRku sampai larut, gomawo Jisun-ssi.”
Aku tidak bohong kalau kubilang ingin muntah.
“Kyaaa, Taemin oppa kita memang baik hati dan berhati lembut.”
Astaga.
“Kembalilah ke kelas kalian, sebentar lagi pelajaran kami akan dimulai!” Eunkyung yang dari tadi diam akhirnya melakukan sesuatu yang berguna juga, mengusir mereka.
“Baiklah Eunkyung Sunbae! Tolong jaga pangeran kami ya sunbae. Sampai jumpa Pangeran Taemin!”
“Sampai jumpa!” dan melihat mereka melambai, juga Taemin yang balas melambai, dan sekarang Eunkyung ikut-ikutan melambai, membuatku merasa bodoh berada di antara dua orang bodoh itu.
“Jadi, mana PRku?”
Aku menghela nafas, kenapa masa-masa sekolahku jadi seperti ini. Kulempar buku tulis berisi PR tentang esai bahasa inggris yang kubuat setengah hidup semalam.
“Omo, galak sekali.”
“Sudahlah Taemin-ah, shoo shoo!” usir Eunkyung lagi. Eunkyung berbakat dalam hal usir-mengusir, karena sekarang Taemin telah menjauh dariku.
“Bilang terimakasih pada temanmu Eunkyung-ah!” teriak Taemin sembari berjalan ke tempat duduknya.
“Taemin bilang terimakasih padamu Jisun-ah.”
“EUNKYUNG-AH!!”
“Hahahaha.”
Sungguh, aku masih bertanya-tanya kenapa bisa berteman dengan Eunkyung satu ini.
*
Jam istirahat tiba, aku membereskan buku dan alat tulis ke tas begitu mendengar bel berbunyi, karena perutku sudah tak mau berkompromi lagi akibat tadi pagi tidak sarapan.
“Ayo ke kantin!” ajakku pada Eunkyung.
“Tidak sempat Jisun-ssi, aku barusan disms ketua  klub untuk pergi ke universitas Konkuk, harus ngumpulin foto untuk seleksi lomba. Tolong izinin aku kalau ada guru yang nanya ya. Sampai jumpa!”
Wusssh.
Eunkyung menghilang.
Aku berjalan sendirian ke kantin, mengambil nampan dan susu kemudian duduk di sebuah bangku panjang yang kosong.
“Kyaaa! Taemin oppa!”
Aku berusaha tidak memperdulikannya. Namun saat suara rusuh itu terasa semakin dekat, dan sekarang sangat dekat, maka aku tidak punya alasan untuk melihat apa yang sedang terjadi. Dan,
Makhluk yang selalu dielu-elukan itu duduk di hadapanku.
“Hai Jisun, bolehkah aku duduk di sini?”
“Oppa, kalaupun ingin bertanya, harusnya tanya padaku. Kan yang punya sekolah ini ayahku.”
Oh, suara centil ini. Pasti ketua fans club.
“Benarkah Naeun? Tapi yang sekarang duduk di meja ini adalah Yoon Jisun, bukan ayahmu, ataupun kau.”
Aku cukup terkejut mendengar perkataannya yang tajam tapi terlontar dengan nada yang halus, dan cukup sulit juga menahan tawaku yang hampir meledak melihat betapa gondoknya dan merahnya wajah si ketua fans club super centil itu karena perkataan Taemin barusan. Hahaha.
“Jadi, aku boleh duduk di sini?” ia mengulang pertanyaan yang sama.
“Ehm. Terserah.”
“Kuanggap iya. Gomawo Jisun-ssi.” Ujarnya.
Ya ya ya. Anggap saja aku senang karena ia membuat si cewek centil itu gondok dan sekarang pergi entah kemana.
Dengan perginya Naeun, berangsur-angsur pengikut yang lain pun pergi juga.
Aku makan dalam diam. Kukira Taemin akan mengganggu dengan mengajakku bicara banyak, namun kenyataannya dia pun juga hanya diam sepertiku.
“Jisun-ssi..”
“Aku sudah selesai, duluan ya.” Aku memebereskan nampan makan siangku dan berlalu dari sana.
*
Sepertinya aku akan pulang sendirian hari ini, Eunkyung belum kembali hingga jam sekolah berakhir, sementara tasnya masih ditinggal di sini, pertanda aku akan pulang dengan satu tambahan tas. Tsk tsk.
Begitu membereskan isi tasnya, dan isi tasku, aku hendak segera pulang, atau aku akan sampai malam, dan dari stasiun subway ke rumah daerahnya cukup sepi jika malam. Kita harus selalu antisipasi bukan. Mataku mencari sebuah objek. Maksudku, siapa lagi kalau bukan Lee Taemin. Bukankah setiap pulang sekolah, Taemin akan menyerahkan tugas-tugas sekolahnya padaku dahulu baru pergi? Namun tasnya masih ada di kelas, sementara yang punya entah dimana.
Kenapa pula aku justru mencari-carinya? Tentu lebih bagus begini kan, aku tak perlu susah-susah mengerjakan pekerjaan dua kali. Sungguh, kenapa aku bisa begini bodoh sekarang?
Di koridor aku melihat si ketua fans club. Siapa lagi kalau bukan adik kelas songong anak pemilik yayasan, Son Naeun.
Aku pura-pura tidak tahu saja, namun begitu berpapasan, ia menubrukkan bahunya padaku sampai-sampai tas Eunkyung yang kusandang terjatuh ke lantai, terlihat jelas anak itu sengaja melakukannya.
Dasar anak-anak.
Begitu menunduk mengambil tas, aku melihat pintu ruang kelas tingkat 3 yang sedikit terbuka, dan sosok yang duduk sambil menggaruk-garuk kepala itu tak lain tak bukan adalah Lee Taemin. Pak Jung keluar dari ruangan itu, dan aku mengambil kesempatan untuk masuk.
Ia mendongak, menyadari kehadiranku.
“Jisun, kenapa ke sini?”
“Aku hanya ingin bertanya kenapa kau tidak mencariku dan memberikan tugas sekolah?” Entah kenapa aku masuk ke sana, dan aku tidak sempat memikirkan alasan lain, dan sekarang aku menyesal kenapa mengingatkannya.
Ia menarik bibirnya membentuk lengkungan.
Seandainya kau tidak menyebalkan, aku pasti akan mengakui kalau kau manis hahaha.
“Kukira kau kangen padaku.”
-_- Gen itu begitu kuat, sekali menyebalkan, seumur hidup menyebalkan.
“Kau PD sekali ya. Jadi kenapa tumben sekali kau tidak merepotkanku dengan tugas milikmu?” Ujarku dengan sinis.
“Masa 7 harinya kan berakhir hari ini, kau lupa?”
Oh, benarkah. Kenapa aku bisa lupa akan hari  yang kunanti-nantikan ini.
“Ah, oh. Memangnya sekarang sudah tanggal 20? Kukira masih 19. Baguslah kalau begitu, akhirnya masa penderitaanku selesai juga. Sayonara!”
“Eh, Jisun-ssi chankamanyo(tunggu) !” Aku berhenti. Menoleh.
“Ada apa lagi?”
“Bisakah kau rusakkan hpku satu lagi supaya aku bisa menyuruhmu mengerjakan tugasku sebagai permintaan maafnya?”
Aku tidak bisa menahan mulutku untuk menganga melihatnya yang sekarang menyodorkan iPhonenya.
“Kau sebenarnya gila atau apa?” itu kalimat yang terlontar karena yang kupikirkan saat ini, anak itu memang telah terganggu kewarasannya.
“Ah, anni, maksudku bukan itu. Aku, itu, ini, aku sama sekali tidak bisa mengerjakan soal ujian susulan Bahasa Inggris ini. Maksudku, bisakah aku minta tolong padamu mengerjakannya untukku, maksudku membantuku mengerjakannya?”
Aku menghela nafasku, menimang-nimang, hingga akhirnya aku berjalan menghampirinya.
“Mana? Sebelum Pak Jung masuk.”
“Gomawo, kau teman yang bisa diandalkan.” Taemin nyengir lebar.
“Ya ya ya, terserah. Apa ini? Bahasa inggris ‘Aku berenang di kolam ikan Pak Lurah #ngek.’ saja kau tak tahu?”
“Tapi aku tahu bahasa Inggris ‘Aku suka kamu.’ ”
Geez. Anak ini.
“Aku tidak tanya ya, cepatlah kerjakan aku ingin segera pulang.” Kucoba tak menanggapinya, tapi ia justru tersenyum-senyum.
Chill out Jisun, anggap ia tidak melihat wajahmu yang sudah pasti memerah.
“Yang ini A, yang ini E, ini D. Hey, cepat kerjakan aku mau pulang!”
*
Aku turun dari subway, keramaian hanya sampai sekitar 5 menit setelah aku berjalan dari stasiun. Jalanan hanya diterangi temaram lampu jalan. Hari sudah gelap sekarang.
Rasakan, kenapa kau menolak tawaran Taemin mengantarmu pulang Jisun.
‘Drrt drrrt’
Ponselku bergetar. Namun aku tidak berani mengangkatnya. Di sini benar-benar sepi, takutnya nanti aku malah dirampok. Lagipula itu pasti dari eomma, sebentar lagi aku juga sampai.
Getaran di ponselku sudah berhenti, namun sekarang hatiku lah yang bergetar. Tidak, aku bukan sedang jatuh cinta. Hanya saja, aku merasa sedang diikuti seseorang.
Aku menoleh ke belakang.
Tidak ada siapa-siapa di sana.
Aku mempercepat langkahku. Tapi aku masih merasa diawasi.
Aku menoleh kembali ke belakang. Masih tidak ada siapa-siapa. Aku mempercepat langkahku, hingga seperti berlari, dengan kepala tetap menoleh ke belakang.
‘BRUK’
“Mianhada!”
Cepat-cepat aku membungkuk.
“Baru pulang sekolah ya gadis kecil?” Aku mendongak, gadis kecil katanya? Setinggi ini aku dikatai gadis kecil.
Dua orang bapak-bapak ceking ini terlihat mabuk aroma alkoholnya mencuat begitu kentara. Abaikan persoalan gadis kecil dan tinggi badanmu Jisun, ini lebih mendesak.
“Iya tuan, ibuku sudah menunggu, aku pulang dulu ya.”
“Hahaha, ibu menunggu katamu? Baiklah, kau boleh pergi, tapi serahkan dulu uang dan ponselmu.”
“Maaf tuan, uangku sudah habis untuk ongkos naik kereta, dan aku tidak punya ponsel. Ibu bilang kalau belum bisa mencari uang jangan bergaya-gaya, sekolah dulu yang benar.”
Apa yang aku katakan?
“Apa kau bilang? Tidak punya ponsel dan menyuruh kami sekolah?” seseorang di antaranya meringsek maju, membuatku mundur selangkah.
“Aku tidak bilang menyuruhmu sekolah kok.”
‘Drrrt drrt’ Ponselku bergetar lagi dan ringtonenya berbunyi nyaring.
Oh ibu, kenapa menelponku di saat super tidak tepat begini!
Kedua bapak-bapak itu menyeringai.
“Ternyata gadis kecil ini mencoba berbohong ya.” Ujar bapak yang berbaju coklat.
“Cepat berikan ponselmu!”
Mati aku.
‘Grep’
Tanganku disambar dari belakang, tubuhku tertarik, aku hampir terjatuh kalau pinggangku tidak segera ditahan.
“Lari!”
Taemin.
“Hey kalian!!!!”
“Jisun! Lari lebih cepat!”
“Aku sedang berusaha!”
Sesekali aku menoleh ke belakang dan bapak-bapak mabuk itu masih mengejar kami.
Dua tas yang kubawa ini cukup memperlambat lariku, dan kurasa Taemin menyadarinya karena setelah itu ia mengambil alih tas Eunkyung yang terus melorot dari bahuku.
“Percepat larimu!”
Tangannya menarikku begitu erat, entah kenapa, udara malam ini jadi terasa sedikit lebih hangat. Larinya sangat kencang, membawa tubuhku mengikutinya, seperti melayang.
Taemin berhenti tiba-tiba membuat tubuhku terdorong menuburuknya. Kemudian ia menarikku ke sisi di balik tembok rumah warga yang cukup tersembunyi karena ditutupi tong sampah besar. Aku mencoba mengatur nafasku yang ngos-ngosan.
Langkah kaki terdengar mendekat.
“Lewat sini!” ujar suara yang kuyakini milik bapak mabuk itu.
Aku dapat mengintip dari celah antara tong sampah kedua bapak itu justru pergi ke arah berlawanan.
“Hoek!”
Oh ya, aku tidak sendirian di sini. Taemin melompat keluar dari balik tempat persembunyian duluan.
Terlihat mati-matian menahan muntah.
“Hahaha, wajahmu Taemin!”
Ia berjalan lebih jauh lagi dari tong sampah, dan menghirup udara dalam-dalam, kemudian menghembuskannya.
Aku mendekati dirinya.
“Perasaan tong sampah tadi tidak bau-bau amat, kenapa kau sebegitu tersiksanya.”
“Sudahlah. Aku pulang dulu, rumahmu sudah dekat kan. Sampai jumpa.” Ia melambai, tapi aku terlebih dahulu menarik kemeja putihnya.
“Minumlah dulu di rumahku paling tidak biarkan aku berterima kasih karena sudah menyelamatkanku.”
“Baiklah jika kau tidak memaksa.” Ia nyengir lagi.
“Siapa yang memaksa?”-_-
Kami berjalan berdampingan, jika tetangga melihat, entah apa yang ada di pikiran mereka. Wajah lusuh, rambut berantakan dan seragam sudah keluar sana-sini.
“Pantas saja aku merasa seperti diikuti, ternyata penguntitnya adalah kau.”
“Kalau tidak ada aku, minimal ponselmu melayang tadi.” Balasnya. Lee Taemin yang lembek ini bisa juga sinis bicaranya.
“Arraso, aku kan sudah berterima kasih, walaupun ditolong dengan cara yan tidak keren, seharusnya kau menghajar dua orang tadi, bukan lari-larian denganku.”
“Tsk, masih untung sudah ditolong, tidak tahu diri. Lain kali jangan sok jual mahal kalau orang berbaik hati padamu, pura-pura menolak diantar, ujung-ujungnya malah lebih menyusahkan.” Kenapa dia malah tambah sewot-_-
“Aku kan sudah menolak tawaranmu, salah kau sendiri yang merepotkan diri mengikutimu.”
“Aku mengkhawatirkan temanku.” Seru Taemin.
Teman?
“Mungkinkah bagimu untuk mencium seorang teman lawan jenis, Taemin?”
“Tentu saja.”
“Meskipun hanya seorang teman biasa?”
“Ya, menurutku itu tidak apa-apa.”
Teman katanya? Aku teman lawan jenisnya?
“Hey, aku tidak mau kau cium!”
Taemin menoleh dengan dahi yang berkerut hingga 7 kerutan. Mukanya persis menahan sakit perut. Jelek.
“Kau mengigau ya, kapan kubilang aku mau menciummu?”
“Eh, itu, itu karena kau menyebutku temanmu.” Jawabku seadanya, agak terbata.
Ia masih menunjukkan raut wajah yang heran.
“Terus kalau kubilang kau temanku, aku pasti menciummu gitu?”
“Heh?”
Aku menggaruk kepalaku, dan merasa bodoh sekarang.
“Tidak juga sih, tapi aku pernah menontonmu di acara TV, kau bilang kau mau mencium teman perempuan tanpa pacaran, bisa saja kau menciumku kan? Aku tidak mau.”
“HAHAHAHA!!” Taemin tergelak, ini membuatku semakin merasa idiot.
“Sudahlah, sana pulang tidak usah ke rumahku!”
Aku melangkah lebih dahulu, ia tetap mengikutiku hinga langkah kami sejajar lagi.
“Kau ini polos juga ya.”
Taemin mengacak rambutku yang sudah kusut, dan memperburuknya. Namun bukan itu poinnya. Tapi telinga dan pipiku yang memanas, dan perutku yang seperti digelitiki.
Aku menepis tangannya.
“Kau mau menghancurkan rambutku apa?”
“Kau sangat manis Jisun”.
Dan kenapa aku merasa Taemin juga jadi sangat manis sekarang?
Aku menata detak jantungku yang seperti berdebum dengan terus berjalan santai.
“Kau tahu, alasan aku pindah dari Chungdam?”
“Mana kutahu, kau kira aku cenayang apa?”
“Tapi masa tidak pernah dengar gosip SHINee Taemin dibully di sekolah?”
Aku cukup terkejut mendengarnya, karena aku tidak begitu mengerti tentang artis-artis Korea.
“Kau benar-benar dibully?” tanyaku.
Taemin tetap menatap ke depan, tapi mengangguk.
“Kau tahu sendiri, di mana ada orang yang suka dengan kita, maka akan ada juga yang benci. Semenjak jadi trainee, aku jarang masuk ke sekolah, dan begitu debut, aku baru sadar selama di sekolah aku hampir tidak punya seorang pun teman di sana. Justru beberapa tidak menyukaiku karena aku dianggap diistimewakan pihak sekolah walaupun jarang masuk kelas. Setelah pindah ke sekolah kita, mungkin sedikit lebih baik, karena paling tidak, tidak ada lagi sepatu melayang ke arahku.”
Sepatu melayang? Astaga.
“Mungkin karena sekolah kita sekolah seni, orang-orang di sana bisa lebih memahamiku yang bekerja di bidang seni. Tapi itu juga tidak mengubah keadaan kalau aku tidak memiliki teman.”
“Tapi kau punya fans yang begitu banyak!” sambarku.
Taemin menoleh, sedikit menunduk. Perbedaan tinggi kami jauh ternyata, melemparkanku pada kenyataan bahwa aku memang pendek dan sebenarnya cukup pantas dikatai anak kecil oleh bapak-bapak mabuk tadi.
“Tentu saja berbeda antara dikelilingi teman, dan dikelilingi fans.”
Aku mengiyakannya. Terbersit sedikit iba pada Taemin. Di balik sifat menyebalkannya, Taemin pasti kesepian.
“Kita sudah sampai.”
Aku melihat ke sekitar, dan benar kami sudah berada di depan rumah.
“Kalau begitu ayo masuk.”
“Tidak usah. Ini sudah malam.” Tolak Taemin.
“Aku pulang ya!”
Aku hendak masuk ke rumah sebelum ia memanggilku lagi.
“Yoon Jisun!”
“Apa lagi?”
“Terima kasih ya.”
Dahiku berkerut.
“Untuk apa?”
“Untuk jadi temanku.”
Mendengar kata temanku terlontar dari mulutnya membuatku ingat kembali akan perkataan Taemin di acara TV itu, dan itu membuat pipiku memanas.
“Jangan panggil aku temanmu, aku jadi merasa kau ingin menciumku.”
“Kau tak mau aku cium?” Taemin mengatakannya dengan wajah yang polos, atau diatur agar terlihat polos.
Dia mulai lagi.
“Tidak, kau kan bukan siapa-siapaku.”
“Jadi, siapa yang boleh menciummu?” ia bertanya masih dengan nada yang sama, innocent.
“Tentu saja pacarku.”
“Kalau aku pacarmu, aku boleh menciummu?”
Apa-apaan dia ini.
“Mungkin.”
“Kalau begitu bagaimana caranya jadi pacarmu?”
“Apa susahnya langsung bilang suka padaku hah!”
Apa yang kau katakan Jisun!
“Tapi aku sudah mengatakannya, kau yang tidak mau menanggapinya!” Taemin berjalan selangkah lebih dekat.
“Kapan kau bilang? Aku merasa kau tidak pernah bilang.”
“Waktu kita mengerjakan ujian susulanku tadi.”
“Aku tidak ingat.”
“Dan kenapa kau susah juga bagimu bilang ‘Aku juga suka padamu’ kenapa serumit ini hanya untuk menembak gadis sepertimu hah?”
Kenapa dia jadi marah-marah padaku.
“Karena kau tidak bilang suka padaku, bagaimana aku bisa bilang ‘juga suka’ padamu? Dan, hey, belum tentu juga aku akan menerimamu!”
‘Grep’
Taemin menarikku hingga limbung ke arahnya kedua tangannya mengunci di balik punggungku.
Ia memelukku!
Meletakkan kepalanya di atas kepalaku, dan membenamkan kepalaku di balik tubuhnya.
“Tidak perlu dijawab, detak jantungmu sama kencangnya dengan punyaku.”
Skak mat.
Detik demi detik, hinga entah telah sampai menit ke berapa, Taemin tak kunjung melepas pelukannya.
“Badanmu ternyata sekecil ini ya…”
“Dadamu juga rata.”
Aku mendorongnya kuat hinggat terlepas dari pelukannya, dan kulayangkan tendangan ke tulang keringnya sekuat tenaga.
“Auuwww.”
“Auuuwww, sakit sekali!”
“Rasakan! Dasar maniak!”
‘BLAM’ (bunyi pintu dibanting)
END
Cr:www.ffindo.wordpress.com <----- Daebak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar